Kedudukan
Penyuluhan dalam Pembangunan kehutanan!
Timmer (1982) mengemukakan pentingnya
kegiatan penyuluhan di dalam proses pembangunan baik sebagai “jembatan” antara dunia ilmu dan pemerintah sebagai penentu
kebijakan, dan juga jembatan antara dunia penelitian dengan praktek usaha tani
yang dilaksanakan oleh para petani.
Sebagai jembatan antara dunia ilmu dan
pemerintah, (Scharamm dan Lerner, 1976) melihat pentingnya kegiatan penyuluhan sebagai
proses komunikasi pembangunan dalam sistem pembangunan nasional, baik untuk menjembatani pembangunan
kesenjangan perilaku antara sesama aparat pemerintah maupun untuk
menjembatani kesenjangan perilaku antara aparat pemerintah dengan masyarakat (petani)
sebagai pelaksana utama. Sedang sebagai jembatan antara dunia penelitian dan
praktek-praktek usahatani (termasuk usahatani hutan), Lionberger (1982) melihat
pentingnya kegiatan penyuluhan di dalam proses penyebarluasan hasil-hasil penelitian.
Menurut,
Lionberger (1981) meletakkan penyuluhan sebagai “variabel antara”, dalam
pembangunan (kehutanan) yang bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani
dan masyarakatnya. Sebagai “variabel antara”, kegiatan penyuluhan merupakan
jembatan dalam proses:
1) Distribusi informasi/inovasi, baik dari sumber (peneliti, pusat informasi, penentu kebijakan, produsen/pemasar, dll) kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan menggunakannya, maupun sebaliknya, dari masyarakat/ praktisi kepada pakar, produsen, pengambil keputusan kebijakan, dll.
2) Pemecahan
masalah, yaitu sebagai fasilitator pemevahan masalah dan atau perantara
informasi yang menyangkut masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
praktisi, pengguna dan pelanggan produk tertentu, kepada sumber
informasi/inovasi/ produk maupun para penentu kebijakan pembangunan.
3) Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau perantara informasi tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan (penguasa) kepada masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat tentang kebijakan yang harus diputuskan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat sendiri).
3) Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau perantara informasi tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan (penguasa) kepada masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat tentang kebijakan yang harus diputuskan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat sendiri).
Upaya
meningkatkan peran-serta penyuluhan dalam pembangunan, menuntut ada nya
perubahan paradigma yang sesuai dengan perguliran jaman. Penyuluhan perlu
direvitalisasi. Penyuluhan penting diserasikan dengan apa-apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan petani. Pendekatan yang sifat nya top down sudah saat
nya dihentikan dan disempurnakan dengan pola yang sifat nya bottom up.
Pengalaman malah membuktikan kalau kita mampu merajut antara pendekatan top
down dan bottom up ke dalam sebuah titik keseimbangan, maka akan terwujud
sebuah pola yang utuh dan terkelola dengan baik antara "political
will" dengan "aspirasi petani" yang
sesungguh nya.
kegiatan penyuluhan diartikan dengan berbagai pemahaman,
seperti:
ü Penyebar-luasan (informasi)
Sebagai terjemahan dari kata “extension”, penyuluhan dapat
diartikan sebagai proses penyebar luasan yang dalam hal ini, merupakan
peyebarluasan informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang
dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam
praktek atau kegiatan praktis.Implikasi dari pengertian ini
adalah:
- Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu aliran informasi dari sumber-sumber informasi (peneliti, pusat informasi, institusi pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang bermanfaat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya. Dalam hubungan ini, penyuluh harus mengoptimalkan peman-faatan segala sumberdaya yang dimiliki serta segala media/ saluran informasi yang dapat digunakan (media-masa, internet, dll) agar tidak ketinggalan dan tetap dipercaya sebagai sumber informasi “baru” oleh kliennya.
- Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang diperoleh kliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut kebijakan, produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena di samping dari penyuluh, masyarakat seringkali juga memperoleh informasi/inovasi dari sumber sumber lain (aparat pemerintah, produsen/ pelaku bisnis, media masa, LSM) yang tidak selalu “benar” dan bermanfaat/ mengun-tungkan masyarakat/kliennya. Sebab, dari pengalaman menunjukkan, informasi yang datang dari “luar” seringkali lebih berorientasi kepada kepentingan luar” dbianding keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat yang menjadi kliennya.
- Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari “dalam” baik yang berupa “kearifan tradisional” maupun “endegenuous technology”. Hal ini penting, karena informasi yang berasal dari dalam, di samping telah teruji oleh waktu, seringkali juga lebih sesuai dengan kondisi setempat, baik ditinjau dari kondisi fisik, teknis, ekonomis, sosial/budaya, maupun kesesuainnya dengan kebutuh-an pengembangan komunitas setempat.
- Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masya-rakat, di samping: inovasi teknologi, kebijakan, manajemen, dll. Hal ini penting, karena yang untuk pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seringkali sangat tergan-tung kepada kemauan dan keputusan politik.
ü P Penerangan/penjelasan
Penyuluhan yang berasal dari kata dasar “suluh” atau obor,
sekaligus sebagai terjemahan dari kata “voorlichting” dapat diartikan sebagai
kegiatan penerangan atau memberikan terang bagi yang dalam ke-gelapan.
Sehingga, penyuluhan juga sering diartikan sebagai kegiatan penerangan. Sebagai
proses penerangan, kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan
penerangan, tetapi juga menjelaskan mengenai segala informasi yang ingin
disampaikan kepada kelompok-sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan
(beneficiaries), sehingga mereka benar-benar memahaminya seperti yang
dimaksudkan oleh penyuluh atau juru-penerangnya. Terkait dengan istilah
penerangan, ppenyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh tidak boleh hanya bersifat
“searah” melainkan harus diupayakan berlangsungnya komunikasi “timbal-balik”
yang memusat (convergence) sehingga penyuluh juga dapat memahami aspirasi
masyarakat, manakala mereka menolak atau belum siap menerima informasi yang
diberikan . Hal ini penting, agar penyuluhan yang dilakukan tidak bersifat “pemaksaan
kehendak” (indoktrinasi, agitasi, dll) melainkan tetap menjamin hubungan yang
harmonis antara penyuluh dan masyarakat kliennya secara berkelanjutan.
ü Pendidikan non-formal (luar-sekolah)
Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar
diartikan bahwa, kegiatan penyebar-luasan informasi dan penjelasan yang
diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan
melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku
yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses
belajar. Hal ini penting untuk dipahami, karena perubahan perilaku dapat
dilakukan melalui beragam cara, seperti: pembujukan, pemberian insentif/hadiah,
atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan pemaksaan (baik melalui penciptaan
kondisi ling-kungan fisik maupun social-ekonomi, maupun pemaksaan melalui
aturan dan ancaman-ancaman). Berbeda dengan perubahan perilaku yang
dilakukan bukan melalui pendidikan, perubahan perilaku melalui proses belajar
biasanya berlangsung lebih lambat, tetapi perubah-annya relatif lebih kekal.
Perubahan seperti itu, baru akan meluntur kembali, manakala ada pengganti atau
sesuatu yang dapat menggantikannya, yang memiliki keunggulan-keung-gulan “baru”
yang diyakininya memiliki manfaat lebih, baik secara ekonomi maupun
non-ekonomi. Lain halnya dengan perubahan perilaku yang terjadi karena
bujukan/hadiah atau pemaksaan, perubahan tersebut
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dalam konsep
“akademik” dapat mudah dimaklumi, tetapi dalam prektek kegiatan, perlu
dijelas-kan lebih lanjut. Sebab pendidikan yang dimaksud di sini tidak
ber-langsung vertikal yang lebih bersifat “menggurui” tetapi merupakan
pendidikan orang-dewasa yang berlangsung horizontal dan lateral yang lebih
bersifat “partisipatif”. Dalam kaitan ini, keberhasilan penyuluhan tidak diukur
dari seberapa banyak ajaran yang disampaikan, tetapi seberapa jauh terjadi
proses belajar bersama yang dialogis, yang mampu menumbuhkan kesadar-an
(sikap), pengetahuan, dan ketrampilan “baru” yang mampu meng-ubah perilaku
kelompok-sasarannya ke arah kegiatan dan kehidupan yang lebih menyejahterakan
setiap individu, keluarga, dan masyara-katnya. Jadi, pendidikan dalam
penyuluhan adalah proses belajar bersama.
Perubahan perilaku
Perubahan perilaku
Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyuluhan tidak
sekadar diartikan sebagai kegiatan penerangan, yang bersifat searah (one way)
dan pasif. Tetapi, penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi
antara penyuluh dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku”
(behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung
(berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui
kinerja dan atau hasil kerjanya). Dengan kata lain, kegiatan penyuluhan tidak
berhenti pada “penyebar-luasan informasi/inovasi”, dan “memberikan penerangan”,
tetapi merupakan proses yang dilakukan secara terusmenerus, sekuat-tenaga dan
pikiran, memakan waktu dan melelahkan, sampai terjadinya perubahan perilaku
yang ditunjukkan oleh penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) yang menjadi
“klien”. penyuluhantersebut. Implikasi dari penegertian perubahan perilaku ini
adalah:
- Harus diingat bahwa, perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya terbatas pada masyarakat/klien yang menjadi “sasaran utama” penyuluhan, tetapi penyuluhan harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders pembangunan, terutama aparat pemerintah selaku pengambil keputusan, pakar, peneliti, pelaku bisnis, aktiivis LSM, tokoh masyarakat dan stakeholders pemba-ngunan yang lainnya.
- Perubahan perilaku yang tejradi, tidak terbatas atau berehnti setelah masyarakat/klien mangadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti) informasi/inovasi yang disampaikan, tetapi juga ter-masuk untuk selalu siap melakukan perubahanperubahan terha-dap inovasi yang sudah diyakininya, manakala ada informasi/ inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi perbaikan kesejahteraannya.
- Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaanya untuk menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih penting dari kesemuanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar sepanjang kehidupannya secara berkelanjutan (life long education).
ü Rekayasa sosial
Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses
perubahan sosial yang dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut
sebagai proses rekayasa sosial (social engineering) atau segala upaya yang
dilakukan untuk menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau dan mampu
melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem
sosialnya masing-masing. Karena kegiatan rekayasa-sosial dilakukan oleh ”pihak
luar”, maka relayasa sosial bertujuan untuk terwujudnya proses perubahan sosial
demi terciptanya kondisi sosial yang diinginkan oleh pihak-luar (perekayasa).
Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat sepenuhnya dapat
diterima. Sebab, rekayasa-sosial yang pada dasar-nya dimaksudkan untuk
memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan kelompok-sasarannya, seringkali dapat
berakibat negatip, manakala hanya mengacu kepada kepentingan perekayasa,
sementara masyara-kat dijadikan korban pemenuhan kehendak perekayasa.
ü Pemasaran inovasi (teknis dan sosial)
Yang dimaksud dengan “pemasaran sosial” adalah penerapan
konsep dan atau teori teori pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda
dengan rekayasa-sosial yang lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do
to) atau menjadikan masyarakat menjadi sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki
oleh perekayasa, proses pemasaran sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do
for) sesuatu kepada masyarakat. Jika dalam rekayasa-sosial proses pengambilan
keputusan sepenuhnya berada di tangan perekayasa, pengambilan keputusandalam
pemasaran-sosial sepenuhnya berada di tangan masyarakat itu sendiri. Termasuk
dalam pengertian “menawarkan” di sini adalah penggunaan konsep-konsep pemasaran
dalam upaya menumbuhkan, menggerak-kan dan mengembangkan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang ditawarkan dan akan dilaksanakan
oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan. Perbedaan hakiki di sini adalah,
masyarakat berhak menawar bahkan menolak segala sesuatu yang dinilai tidak
bermanfaat, akan merugi-kan, atau membawa konsekuensi pada keharusan masyarakat
untuk berkorban dan atau mengorbankan sesuatu yang lebih besar dibanding
manfaat yang akan diterimanya.
ü Pemberdayaan masyarakat (community
empowerment)
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan
penyu-luhan adalah untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan berarti
memberi daya kepada yang tidak berdaya dan atau mengem-bangkan daya yang sudah
dimiliki menjadi sesuatu yang lebih ber-manfaat bagi masyarakat yang
bersangkutan. Dalam konsep pember-dayaan tersebut, terkandung pema-haman bahwa
pemberdayaan tersebut pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi
kesejahteraannya sendiri. Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat
kemam-puan (capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat
berpar-tisipasi secara aktif dalam keseluruahn proses pembangunan, terutama
pembangunan yang ditawarkan oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain
(penyuluh, LSM, dll)
ü Penguatan komunitas (community
strengthening)
Yang dimaksud dengan penguatan kapasitas di sini, adalah penguatan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan,
maupun hubungan atau jejaring antar individu, kelom-pok organisasi sosial,
serta pihak lain di luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan
atau kapasitas masyarakat, diarti-kan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki
oleh setiap indiividu dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan
sumber-daya yang dimiliki secara lebih berhasil-guna (efektif) dan berdaya-guna
(efisien) secara berkelanjutan. Dalam hubungan ini, kekuatan atau daya yang
dimiliki setiap individu dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat
aktif yaitu terus menerus dikembangkan/dikuatkan untuk “memproduksi” atau
meng-hasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna-ganda yang
bersifat timbal-balik. Di satu pihak, penguatan diarahkan untuk melebih
mampukan indiividu agar lebih mampu ber-peran di dalam kelompok dan masyarakat
global, di tengah-tengah ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi,
kelompok dan masyarakat global. Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan
untuk melihat peluang yang berkem-bang di lingkungan kelompok dan masyarakat
global agar dapat dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelom-pok, dan
masyarakat global (UNDP, 1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar